selamat datang.....

selamat datang..... di blog yang biasa ini

Sabtu, 06 Februari 2010

Belajar mengasihi Sesama

Seorang ayah ingin mengajarkan kepada anaknya sejak dini yang baru duduk dikelas 3 SD untuk mengatur uang jajannya. Sang anak diberi uang Rp 30.000 perminggu (termasuk ongkos ojek). Biasanya uang tersebut diberikan sang ayah sehari sebelum anaknya masuk sekolah.

Pada minggu pagi mereka berdua hendak jalan-jalan ke kota untuk menikmati liburan. Sebelum berangkat, tak lupa sang ayah memberikan uang jajan mingguan anaknya dengan tiga lembar Rata Penuhuang Rp 10.000. Dan uang tersebut disimpan rapi dalam saku celananya. Ditengah keasikan sang ayah dan anaknya menikmati hari libur mereka, tiba-tiba keduanya dikejutkan dengan kedatangan seorang kakek pengemis yangg telah tua renta sambil memelas. Tak tega melihat sang kakek tua memelas, sang anak dengan sigap langsung mengeluarkan 3 lembar uang 10.000,- dari saku celana dan diberikan seluruhnya. Kontan saja kakek pengemis ini terlihat sangat senang seraya mengucapkan rasa syukur dan terimakasih yang tak terkira kepada sang anak dan ayahnya ini.

Setelah si kakek tua berlalu, kemudian sang ayah bertanya; “Sayang, kenapa kamu berikan semua uangmu untuk kakek itu? Bukankah satu lembar saja sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya hingga nanti malam?” “Ayah..kalau kakek tua itu ikhlas menerima yang sedikit maka aku ikhlas untuk memberikan yang lebih besar!” Jawab anaknya dengan wajah tersenyum.. “Tek!!!” Hati sang ayah langsung tersentak kaget mendengar jawaban tersebut. “Nah, terus uang jajanmu untuk seminggu ke depan bagaimana?” Tanya sang ayah mencoba menguji. “Kan aku masih punya ayah dan bunda! Tidak seperti kakek tua itu yang mungkin hanya hidup sebatangkara di dunia ini.” Balas anaknya. “Kenapa kamu begitu yakin kalo ayah dan bunda akan mengganti uang jajanmu? Ayah nggak janji loh?” Kembali sang ayah mengujinya. “Kalo ayah merasa bahwa aku adalah amanah dari Allah yang dititipkan kepada ayah dan bunda, maka aku sangat yakin ayah dan bunda tak akan membiarkan aku kelaparan seperti kakek tua itu..” Jawab sang anak mantap.

Seakan sang ayah tak percaya dengan jawaban dari putranya hingga ia kehabisan kata-kata. Ia tak menyangka jawaban seperti itu keluar dari seorang bocah kelas 3 SD. Ia seperti sedang berhadapan dengan seorang ulama besar dan ia tak bernilai apa-apa ketika berada dihadapannya. Lalu ia berjongkok dan memegang kedua pundak anaknya..“Sayang…ayah dan bunda janji akan selalu menjaga dan merawatmu hingga Allah tetapkan batas umur ini. Ayah sangat sayang padamu..” Sambil kedua matanya berkaca-kaca seolah tak kuat menahan haru. Sambil memegang kedua pipi ayahnya, sang anak membalas, “Ayah tak perlu berkata seperti itu. Sejak dulu aku sudah tahu bahwa ayah dan bunda sangat mencintai dan menyayangiku. Kelak jika aku sudah dewasa aku akan selalu menjaga ayah dan bunda, dan aku tidak akan membiarkan ayah dan bunda hidup dijalan seperti kakek tua itu…”

Minggu, 28 Juni 2009

GLOBALISASI, DEMOKRASI DAN POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA

GLOBALISASI, DEMOKRASI DAN POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA

Pendahuluan
Sejalan dengan perkembangan internasional selama dasawarsa 1990-an, telah muncul cara singkat untuk menggambarkan lahirnya sebuah tatanan baru, yaitu globalisasi. Banyak penulis yang berpendapat bahwa era Perang Dingin telah digantikan oleh era globalisasi. Gambaran baru dunia ini didasarkan atas perkembangan yang diakui secara universal, yaitu peningkatan secara tajam dalam perdagangan internasional; arus investasi; arus kapital; kemajuan dalam bidang teknologi dan menigkatnya peran institusi-institusi multilateral bersamaan dengan semakin lemahnya kedaulatan ngara.
Banyak pengamat yang berpendapat bahwa elemen-elemen dari globalisasi tersebut adalah sebagian kecil saja dari gambaran dunia yang lebih kompleks. Mereka mencatat bahwa integrasi ekonomi dan tekonologi seringkali diikuti oleh fragmentasi dan disintegrasi politik yang semakin meningkat, misalnya disintegrasi negara akibat konflik etnik atau munculnya negara-negara baru. Pada saat yang sama juga muncul pemisahan yang tajam antara pihak yang kalah dan menang dalam globalisasi, baik itu antara negara maupun intra-negara. Perdebatan mengenai hakikat globalisasi hingga kini masih terus berlangsung.
Salah satu pemahaman mengenai globalisasi adalah seperti yang disampaikan oleh Steger (2002), yaitu globalisasi sebagai sebuah liberalisasi. Globalisasi sebagai liberalisasi tidak hanya merujuk pada liberalisasi dalam bidang ekonomi dan perdagangan. Proses liberalisasi juga terjadi pada tataran negara. Pada tataran ini, kita menyaksikan munculnya berbagai isu yang harus dihadapi pemerintah baik itu pada tataran lokal, nasional maupun internasional. Globalisasi sebagai sebuah liberalisasi juga memunculkan berbagai aktor dengan beragam kepentingan dalam proses pengambilan keputusan.
Tulisan ini beranjak dari sebuah asumsi bahwa proses globalisasi telah membuka ruang yang lebih besar kepada negara untuk melibatan diri secara lebih jauh dalam proses interaksi dalam politik internasional. Konsekuensi logis dari asumsi ini adalah bahwa opsi-opsi kebijakan yang dimiliki oleh sebuah negara juga akan semakin luas dan aktor yang terlibat dalam policy network pun akan semakin beragam. Tulisan ini mencoba memotret politik luar negeri Indonesia dewasa ini dari perspektif globalisasi.
Secara lebih spesifik, tulisan ini mengkaji : (a) dampak globalisasi terhadap pilihan-pilihan politik luar negeri Indonesia; (b) demokrasi dan policy network dari politik luar negeri Indonesia; dan (c) tantangan dalam proses pembuatan keputusan luar negeri Indonesia, khususnya jika dikaitkan dengan globalisasi sebagai sebuah liberalisasi.
Asumsi dasar
Sebagai sistem internasional, globalisasi bukanlah proses yang bersifat statis melainkan proses kelanjutan yang dinamis yang mencakup integrasi pasar, negara bangsa dan teknologi hingga tingkat yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya oleh manusia sehingga memungkinkan individu, korporasi dan negara bangsa saling berinteraksi secara lebih jauh, lebih cepat dan lebih murah dibandingkan dengan masa sebelumnya. Ide dasar penggerak global adalah kapitalisme pasar bebas-free market capitalism-di mana semakin kita menjadikan pasar sebagai aturan main dan semakin kita membuka ekonomi terhadap perdagangan bebas dan kompetisi, maka ekonomi akan menjadi semakin efisien dan berkembang.
Proses globalisasi juga telah membangkitkan sentimen-sentimen gerakan demokrasi di berbagai bagian dunia. Globalisasi politik, sebuah istilah yang kerap digunakan untuk menggambarkan dampak globalisasi di bidang kehidupan politik, telah memicu munculnya pemikiran mengenai pentingnya perubahan-perubahan politik pada tataran nasional. Perubahan pada tataran nasional merupakan sebagian saja dari keharusan sebuah pemerintah untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada tataran global. Keharusan lainnya adalah bahwa negara harus membuka diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dan mengatasi dampak dari perubahan-perubahan itu, baik terhadap kebijakan nasional maupun posisi internasional dari negara tersebut.
Globalisasi bukan saja mengintegrasikan unit-unit politik yang beragam ke dalam kerangka ekonomi global, tetapi juga melemahkan batasan antara wilayah (spheres) publik dan privat. Sebagai akibatnya, globalisasi ekonomi akan menghapuskan kedaulatan internal sebuah negara dengan mereduksi kemampuan kedaulatan itu sendiri untuk mengatur pergerakan modal, barang, dan jasa secara efektif. Selain itu, globalisasi juga akan menginternasionalisasikan kedaulatan internal dan membuka kelemahan dan kekurangan dari negara yang bersangkutan. Globalisasi tidak bisa dicegah oleh juridictional barriers (Friedman, 2000) sekalipun.
Bentuk respon negara terhadap ancaman dari proses globalisasi bermacam-macam. Salah satunya adalah melakukan adaptasi, yaitu menerima proses tererosinya batasan politik dan mengambil hal terbaik dari proses itu dengan mengintegrasikan unsur-unsur baru ke dalam praktek-praktek kebijakan nasional. Bentuk respon lainnya adalah menutup diri dari proses globalisasi dengan memperkuat batasan politik negara tesebut. Bentuk respon kedua ini dianggap tidak rasional karena hal itu hanya akan membuat pemerintah negara tersebut sulit mengembangkan pilihan-pilihan kebijakan, di saat ruang terbuka lebar bagi negara itu untuk terlibat langsung dalam proses kesalingtergantungan.
Pada tataran yang lebih mikro, globalisasi juga secara tidak langsung menstimulasi munculnya berbagai aktor domestik yang memiliki preferensi dan kepentingan-kepentingan tertentu, khususnya dalam konteks perumusan kebijakan. Ini berarti bahwa globalisasi pada tingkat global memberi dampak terhadap policy network tersebut. Dengan kata lain, globalisasi sebagai sebuah sistem dapat membantu memprediksi dan menjelaskan kebijakan luar negeri sebuah negara sejauh itu berkaitan dengan para aktor dan kepentingan mereka dalam proses perumusan kebijakan. Yang jelas bahwa munculnya berbagai aktor dalam proses kebijakan adalah sesuatu yang sulit dihindari untuk terjadi, karena hal itu sejalan dengan proses demokrasi itu sendiri sebagai konsekuensi logis dari globalisasi.
Globalisasi dan pilihan-pilihan politik luar negeri Indonesia
Globalisasi berarti tersedianya ruang politik yang lebih luas untuk mengartikulasikan kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan politik luar negeri suatu negara. Indonesia tidak bisa menghindar dari keharusan menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan strategisnya. Globalisasi yang pada dirinya membawa ide-ide dan nilai-nilai baru adalah sebuah fakta politik yang harus ditanggapi sesuai dengan kepentingan dan prioritas politik luar negeri Indonesia.
Indonesia kini menyaksikan sebuah dunia yang mengalami transformasi dalam peradaban manusia dan sebuah tatanan dunia yang didasarkan atas nilai-nilai demokrasi, hak azasi manusia dan ekonomi pasar liberal. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi juga membuat Indonesia menjadi semakin terlihat kekuatan dan kelemahannya. Tetapi kemajuan dalam bidang itu seharusnya juga menjadi media dan sarana Indonesia dalam memperluas spektrum diplomasi internasional dan memperkuat posisi internasional Indonesia.
Globalisasi dan kemajuan dalam bidang teknologi memang telah membuat hubungan internasional menjadi lebih kompleks (Wardoyo, K dan Dimyati, 2001). Konsekuensinya adalah bahwa masalah-masalah internasional yang dihadapi oleh Indonesia juga semakin kompleks. Oleh karena itu, globalisasi menuntut Indonesia melakukan perubahan-perubahan besar dalam hubungan internasionalnya, baik perubahan-perubahan itu dari dalam negeri sendiri sejauh itu berhubungan dengan diplomasi internasional Indonesia maupun secara eksternal.
Yang jelas adalah bahwa globalisasi telah membuat multilateralisme menjadi norma dalam hubungan internasional kontemporer. Oleh karena itu, dalam menjalankan diplomasi internasionalnya, Indonesia harus jeli melihat setiap kemungkinan yang ditawarkan oleh proses multilateralisme, terutama dalam rangka memajukan kepentingan nasional dan global baru Indonesia. Dalam era globalisasi ini, yang tidak boleh berubah adalah komitmen Indonesia untuk tetap menjadi bagian dari kolaborasi internasional untuk menciptakan lingkungan global yang lebih stabil dan aman, tentu tanpa harus mengorbankan kepentingan nasional dasar Indonesia.
Jika globalisasi dilihat sebagai sebuah sistem yang dinamis di mana interaksi antara para aktor semakin intensif dan kompleks dan hubungan kesalingtergantungan juga semakin kuat, maka sulit dihindari kenyataan bahwa karakteristik yang seperti itu akan memberi dampak terhadap stabilitas dan kemakmuran di dalam negeri. Artinya, di antara para aktor dalam negeri diperlukan semacam konsensus bahwa perdamaian dan stabilitas dalam negeri sangat bergantung pada perkembangan yang terjadi di lingkungan Indonesia.
Ini berarti bahwa pilihan-pilihan kebijakan luar negeri Indonesia di era globalisasi ini sejauh mungkin disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan domestiknya. Dalam dunia yang penuh guncangan, Indonesia harus mampu mempengaruhi perkembangan pada tingkat global dengan memobilisasi apa pun sumber daya yang dimiliki. Ini akan terjadi hanya jika Departemen Luar Negeri memberi ruang dan tempat yang lebih besar kepada aktor-aktor di luar pemerintah menjadi bagian dari proses kebijakan.
Keterlibatan aktor non-negara dalam policy network, khususnya yang berkaitan dengan perumusan kebijakan luar negeri Indonesia, bukan hanya akan memperluas perspektif kebijakan luar negeri dan diplomasi Indonesia, tetapi juga menjaga keseimbangan kepentingan dari aktor administratif-politik (pemerintah) dan aktor-aktor privat. Keseimbangan demikian dibutuhkan agar apa yang diputuskan sebagai kebijakan luar negeri Indonesia tidak mengorbankan kepentingan anggota kelompok masyarakat lainnya. Dalam perspektif demikian, kebijakan luar negeri merupakan sebuah political outcome dari interaksi antara para aktor dalam networks dalam bentuk koordinasi, kerja sama dan komunikasi. Inilah esensi dari sebuah policy networks. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika kebijakan luar negeri Indonesia dalam era globalisasi, khususnya ketika demokrasi di Indonesia tengah bergulir, ini dibangun atas dasar kebutuhan dan partisipasi yang lebih luas dari anggota masyarakat dalam proses kebijakan.
Sekalipun diasumsikan bahwa berbagai aktor telah terlibat dalam proses kebijakan, tetapi apa yang terbaik dari Indonesia kelihatannya belum menjadi kenyataan. Bidang ekonomi adalah salah satu contohnya. Tetapi kebijakan luar negeri Indonesia dewasa ini, apalagi jika itu dikaitkan dengan era globalisasi, bukanlah semata-mata persoalan ekonomi. Kebijakan luar negeri Indonesia ada hubungannya dengan persoalan harga diri bangsa dan posisi dan peran Indonesia dalam dunia internasional. Oleh karena itu, kebijakan luar negeri Indonesia hendaknya menyampaikan pesan kepada masyarakat internasional bahwa pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono memiliki komitmen untuk menjaga keseimbangan antara demokrasi, penghargaan terhadap hak azasi manusia serta keamanan dan stabilitas domestik.
Dalam dunia yang semakin mengglobal ini, dan di mana pemerintah baru Indonesia memperoleh legitimasi yang kuat dari masyarakat, Indonesia harus memprakarsai kebijakan luar negeri yang lebih pro-aktif dan well thought out jika ia ingin dilihat sebagai negara yang secara strategis dan politik berarti bagi stabilitas dan perdamaian kawasan. Oleh karena itu, meskipun politik luar negeri adalah prioritas kedua dari program pemerintah setelah masalah-masalah domestik, adalah tetap menjadi keharusan bagi pemimpin baru Indonesia untuk melakukan terobosan baru dalam bidang politik luar negeri terutama untuk memajukan stabilitas politik domestik dan memperkuat posisi internasional Indonesia. Oleh karena itu, kebijakan luar negeri pemerintah baru Indonesia dalam era globalisasi ini haruslah sebuah kebijakan luar negeri yang adaptif terhadap lingkungan internasional yang berubah.
Ada beberapa langkah dalam penysuaian politik luar negeri Indonesia. Pertama, memanfaatkan proses demokrasi di Indonesia sebagai modalitas bagi politik luar negeri dan diplomasi Indonesia. Demokrasi dan globaliasasi tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, politik luar negeri Indonesia hendaknya menjadi media untuk memperjuangkan kepentingan global dan regional baru Indonesia, khususnya ketika Indonesia memandang pentingnya sebuah democratic peace (Bandoro, 2004) di kawasan terdekat Indonesia, yaitu sebuah tatanan regional yang dibangun atas dasar demokrasi. Alexis de Tocqueville mengatakan demokrasi adalah kekuatan dari perdamaian (Bandoro, 2004).
Kedua, politik luar negeri Indonesia harus diarahkan untuk memproteksi proses demokrasi di Indonesia. Karena basis legitimasi dari politik luar negeri indonesia adalah masyarakat demokratik, maka mengedapankan prinsip-prinsip demokrasi dalam perumusan politik luar negeri adalah suatu keharusan, yaitu dengan memberikan tempat kepada aktor-aktor non-negara dalam proses pembuatan keputusan luar negeri. Cara demikian memungkinkan mereka untuk meyampaikan preferensi-preferensi mereka secara langsung dan lebih terbuka. Melalui proses demikian, politik luar negeri pada akhirnya merupakan pengejawantahan dari kepentingan nasional.
Ketiga, sasaran politik luar negeri Indonesia harus dibuat sedemikian rupa sehingga ia merupakan hasil dari sebuah keseimbangan antara keharusan menjaga kredibilitas internasional Indonesia dan komitmennya untuk menegakkan demokrasi di dalam negeri. Sasaran utamanya adalah mewujudkan Indonesia incorporated agar ia memiliki daya saing dan kemampuan tingggi dalam kompetisi pada tataran global.
Demokrasi dan kejelasan dalam policy network : tuntutan baru politik luar negeri Indonesia
Ada sebuah teori yang mengandaikan bahwa konfigurasi kepentingan domestik menentukan substansi dan pelaksanaan politik luar negeri suatu negara. Teori ini menjelaskan bagaimana politik luar negeri dalam isu-isu tertentu diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan politik luar negeri yang lebih luas (Manning, 1998). Teori liberalisme mengenai politik luar negeri menjelaskan perilaku politik luar negeri suatu negara dari perspektif politik bawah-atas (bottom-up) (Gaddis, 2001) sebagai akibat dari berperannya faktor yang berpengaruh pada tataran subsistem. Oleh karena itu, tidak seperti teori neorealisme, kepentingan yang menentukan politik luar negeri tidak dibentuk oleh sistem internasional, tetapi berakar paa masyarakat domestik. Jadi hipotesis inti dari teori demikian adalah bahwa kepentingan para aktor domestik menetukan politik luar negeri sebuah negara.
Teori seperti disebutkan di atas kerap digunakan oleh para akademisi hubungan internasional untuk mengetahui karakteristk dari policy network suatu politik luar negeri. Keingintahuan mereka itu bisa saja karena faktor globalisasi yang menuntut pemahaman kebijakan dalam perspektif yang lebih luas. Artinya, lingkungan internasional yang berubah diasumsikan juga akan memunculkan tekanan pada policy network di mana aktor yang terlibat dalam policy network dituntut untuk semakin aktif dalam mengekspresikan preferensi-preferensi mereka sesuai dengan mucnulnya isu-isu baru pada tataran global. Apa yang kemudian kita lihat adalah bahwa demokratisasi bukan saja terjadi dalam proses pengambilan keputusan luar negeri, tetapi juga dalam menentukan prioritas kebijakan. Arti yang disebut terakhir ini adalah terbukanya pilihan yang lebih luas dalam menentukan apa yang akan menjadi prioritas kebijakan, sesuatu yang tidak lagi di bawah kendali atau ditentukan oleh pemerintah. Apa yang dikatakan secara teoritis di atas dalam prakteknya tidak terjadi dalam kasus Indonesia. Transisi politik domestik di Indonesia memang telah memunculkan partai-partai politik baru dan membangkitkan kesadaran akan pentingnya keterlibatan aktor pemerintah dalam proses perumusan kebijakan. Isu-isu luar negeri pun jua tidak banyak disinggung dalam kampanye. Proses globalisasi dan tekanan eksternal akan demokrasi tidak cukup kuat untuk mengubah perspektif pemerintah mengenai masalah-masalah luar negeri, setidaknya dalam beberapa tahun ke belakang. Pemerintah sejauh itu masih melihat dirinya sebagai aktor sentral dalam perumusan kebijakan. Ini bisa saja disebabkan karena ketidakjelasan mengenai tipe policy network politik luar negeri Indonesia.
Hingga kini kalangan publik sulit memastikan siapa sesungguhnya aktor dalam policy network tersebut yang paling berpengaruh dalam keputusan-keputusan luar negeri. Padahal, dalam demokrasi opini publik seharusnya menjadi semacam guide bagi para pembuat kebijakan. Sebagai argumen, pemerintah bisa saja menganggap bahwa pandangan publik mengenai politik luar negeri sangat tidak spesifik dan cenderung berubah-ubah (volatile). Oleh karena itu, opini publik bukanlah faktor pnting bagi pembuat kebijakan. Tetapi menurut model pluralis dari demokrasi pengaruh kelompok kepentingan tertentu merupakan stabilizing factor dalam mengembangkan kebijakan luar negeri. Ini yang kelihatannya absen dalam policy network dari politik luar negeri Indonesia.
Sisitem pembuatan keputusan luar negeri Indonesia yang terkesan tertutup ini, kalaupun dianggap tidak demokratis, membawa publik kepada kesimpulan sementara bahwa aktor kunci pembuatan keputusan luar negeri adalah Departemen Luar Negeri dengan Menteri Luar Negeri dan jajarannya sebagai pemain paling berpengaruh dalam proses tersebut. Kesimpulan demikian memperkuat dugaan bahwa memang tidak ada koordinasi, kerja sama dan komunikasi tiga elemen dasar dari policy network dalam pembuatan keputusan luar negeri.
Dalam lingkungan global yang berubah, komitmen internasional baru Indonesia seharusnya memberi efek terhadap policy network pembuatan keputusan luar negeri. Apa yang terlihat dalam kenyataan adalah terpisahnya, kalaupun bukan terisolasi, politik luar negeri dari politik domestik; politik luar negeri bahkan cenderung bukan merupakan prioritas. Politik luar negeri seakan-akan menjadi domain departemen luar negeri saja. Padahal isu-isu baru internasional bukan hanya menuntut pluralisasi dalam pembuatan keputusan luar negeri, tetapi juga pengakuan akan pentingnya kesetaraan antara apa yang dianggap sebagai kebijakan luar negeri dan kebijakan dalam negeri. Yang disebut terakhir memang diakui sebagai arena faksi dan konflik. Tetapi policy network politik luar negeri Indonesia bisa menjadi lebih dinamis jika saja di dalamnya juga terjadi perdebatan mengenai politik luar negeri dan politik luar negeri itu sendiri tidak sepenuhnya di bawah kontrol birokrasi.
Efek pembangunan demokrasi di Indonesia sangat luas. Ia dapat menjadi faktor positif bagi proses kebijakan (policy process), utamanya politik luar negeri. Dalam sistem yang lebih demokratis, politik luar negeri seharusnya juga menjadi domain publik. Di sinilah hubungan antara demokrasi dan politik luar negeri (Gaddis, 2001). Lebih dari itu, kemampuan pemerintah untuk bertindak secara lebih koheren, khususnya dalam hubungannya dengan negara lain akan sangat ditentukan oleh tingkat democraticness dari negara Indonesia sendiri. Yang jelas adalah bahwa stabilitas dan konsistensi dari politik luar negeri, yang bertumpu pada prinsip-prinsip demokrasi, akan menjamin kredibilitas komitmen internasional Indonesia.
Kesimpulan : globalisasi dan tantangan pembuat keputusan luar negeri
Telah dikatakan di atas bahwa globalisasi sebagai sebuah liberalisme akan menjadi faktor penting dalam setiap pengambilan keputusan nasional. Tuntutan akan demokratisasi tidak akan berhenti bejalan dengan proses globalisasi itu sendiri. Bahkan ada yang mengatakan bahwa politik luar negeri seluruhnya seharusnya adalah mengenai demokrasi (Paik, 2004), khususnya ketika negara itu telah sampai pada tingkat demokrasi di mana terjadi konvergensi preferensi antara aktor-aktor dalam pembuatan keputusan-keputusan nasional. Proses kebijakan pada akhirnya merupakan sebuah refleksi dari demokrasi itu sendiri, khsususnya jika kepentingan-kepentingan pada akar rumput juga memainkan peran dalam proses tersebut.
Orang mungkin tidak banyak tahu bagaimana sesungguhnya proses pembuatan keputusan luar negeri Indonesia. Persepsi bahwa departemen luar negeri adalah aktor sentral dan “berdaulat” dalam proses tersebut adalah lebih kuat daripada persepsi bahwa keputusan luar negeri adalah hasil dari sebuah proses tawar-menawar. Karakteristik masyarakat Indonesia yang sangat hierarkis mungkin dapat menjelaskan fenomena tersebut. Perubahan-perubahan pada tataran global mengungkapkan kenyataan bahwa tuntutan eksternal akan demokrasi sekalipun tidak mengubah format baku dari proses pembuatan keputusan luar negeri Indonesia, kalau format itu memang ada, di mana departemen luar negeri masih diakui sebagai aktor sentral dalam proses tesebut. Dari waktu ke waktu departemen luar negeri memang melakukan dengar pendapat dengan badan legislatif. Tetapi sejauh ini, hal itu hanya dilihat oleh publik sebagai sebuah proses diskusi antara Departemen Luar Negeri RI dengan DPR, serta paparannya di hadapan DPR mengenai masalah-masalah internasional Indonesia. Proses di atas tidak salah dan tidak pula bertentangan dengan prinsip komunikasi sebagai salah satu dimensi penting dari policy network. Keberatan publik mungkin adalah ruang yang sangat terbatas bagi mereka untuk mengekspresikan pandangan-pandangan mereka mengenai masalah-masalah internasional. Padahal mereka sebenarnya adalah salah satu policy resources. Adalah wajar jika ruang yang terbatas ini kemudian menjadi alasan bagi mereka untuk mengajukan pilihan-pilihan kebijakan tandingan atau mengeritik secara tajam kebijakan luar negeri yang telah diputuskan.
Pemerintah, dalam hal ini departemen luar negeri, bisa saja tidak setuju dengan argumen di atas karena dari sudut pandang mereka, mereka dalam kenyataannya adalah aktor sentral dalam pembuatan keputusan luar negeri. Tetapi proses globalisasi seharusnya mengubah paradigma mereka mengenai bagaimana keputusan luar negeri harus dibuat. Globalisasi memunculkan konfigurasi baru pada tataran global. Hal yang sama sehrusnya juga terjadi pada tataran nasional. Jika, misalnya tidak ada teori yang dapat menjelaskan bagaimana keputusan luar negeri Indonesia dibuat dan bagaimana konfigurasi baru pada tataran global memberi efek terhadap proses kebijakan nasional, maka konsep utilitarian liberalism (Gaddis, 2001) setidak-tidaknya dapat memprediksi, kalaupun tidak menjelaskan, bagaimana keputusan-keputusan luar negeri Indonesia dibuat. Konsep ini menjelaskan bahwa politik luar negeri tidak diambil atas dasar norma-norma, tetapi atas dasar kepentingan.
Globalisasi yang membuka ruang yang lebih besar seharusnya memudahkan publik dalam mengidentifikasi kepentingan-kpentingan yang terlibat dalam policy network politik luar negeri Indonesia. Tetapi hal itu dalam paktek masih sulit untuk dilakukan. Oleh karena itu, konsep utilitarian liberalism mungkin dapat membantu publik untuk menetukan siapa aktor domestik yang dominan dan apa kepentingan-kepentingan mreka. Pertama, menurut konsep ini ada lima macam aktor domestik : (1) aktor politik dan administratif; (2) perusahaan; (3) kalangan bisnis; (4) kelompok kepntingan buruh (labor interest group); dan (5) kelompok kepentingan sosial. Dalam dunia yang mengglobal, politik luar negeri Indonesia, disadari atau tidak, pada dirinya sebenarnya merefleksikan preferensi dari aktor-aktor domestik tersebut. Preferensi mereka, khususnya yang berkaitan dengan isu-isu politik luar negeri yang spesifik, dibentuk oleh posisi dan peran mereka dalam masyarakat. Lebih dari itu, keberadaan mereka dalam policy network menuntut mereka untuk memaksimumkan keuntungan mereka sesuai dengan isu politik luar negeri yang mereka hadapi.
Kedua, setiap aktor tersebut di atas memiliki kapabilitas yang berbeda dalam memaksakan preferensi-preferensi mereka dalam proses politik luar negeri. Kapabilitas mereka ini ditentukan bukan hanya oleh proksimitas mereka terhadap aktor sentral dalam proses kebijakan, tetapi juga tergantung dari jenis policy network.
Jadi, pemikiran utilitarian liberalism seperti dijelaskan di atas setidak-tidaknya membantu publik menjelaskan peran aktor-aktor domestik alam proses kebijakan dan bagaimana respon mereka terhdap isu-isu politk luar negeri baru yang muncul akibat gelombang globalisasi. Para pembuat keputusan luar negeri Indonesia harus menerima kenyataan bahwa pencapaian komitmen baru internasional Indonesia menuntut partisipasi yang lebih luas dari aktor-aktor lain dalam masyarakat untuk mendukung diplomasi internasional dan politik luar negeri Indonesia.
Bukan hanya itu, kini sudah saaatnya para pembuat keputusan luar negeri Indonesia bersikap lebih realistis, yaitu bahwa globalisasi memang tidak bisa dibendung dan tekanan untuk melakukan libralisasi dalam berbagai bidang kebijakan juga semakin kuat. Oleh karena itu, perubahan di pihak pemerintah dalam memandang bagaimana keputusan luar negeri harus dibuat juga harus berubah, karena perubahan-perubahan itu merupakan bagian dari tuntutan untuk melakukan proses–proses demokratisasi secara lebih menyeluruh. Stabilitas politik luar negeri Indonesia pada akhirnya tergantung pada perkembangan dalam proses demokrasi di Indonesia sendiri.


DAFTAR PUSTAKA
Bandoro, Bantarto. 2001. Creating Democratic Peace in The ASEAN Region. The Jakarta Post, January 2.
Duverger, Martin. 1982. Sosiologi Poliik. Rajawali Press. Jakarta.
Friedman, Thomas L. 2000. Memahami Globalisasi : Lexus dan Pohon Zaitun. Penerbit ITB, Bandung.
Fukuyama, Francis. 2002.. Trust. Qalam, Yogyakarta.
Giddens, Anthony, 1999, Jalan Ketiga: Pembaharuan Demokrasi Sosial (terjemahan), Jakarta, Gramedia
Gaddis, John Lewis. 2001. Demokrasi dan Kebijakan Asing, makalah disampaikan dalam diskusi publik “Masa Depan Politik Indonesia. Tanggal 17 April 2001. Universitas Indonesia, Jakarta.
Hall, D.G.E, 1988, Sejarah Asia Tenggara (terjemahan), Surbaya, Penerbit Usaha Nasional
Manning, Chris, 1998, Indonesia dalam Masa Transisi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Paik, George F. 2004. Democracy as Real Politic, The National Interest, March 11.
Steger, Manfred B. 2002. Globalisme Bangkitnya Ideologi Pasar. Lafadl, Yogyakarta.
Sholte, Jan Aart. 2000. Globalization : a Critical Introduction (London : Macmilan).
Wardoyo, K dan Dimyati. 2001. Problema Globalisasi. Muhammadiyah University Press. Surakarta.